Berbagai penyimpangan yang ada
dalam masyarakat, misalnya berkembangnya mentalitas jalan pintas, sikap
materialistik dan individualistik, dominannya nilai-nilai ekstrinsik
terutama di kalangan generasi muda, dari satu sisi bisa dikaitkan dengan
kegagalan praktek pendidikan yang berkiblat ke Amerika. Dengan kata
lain, praktek pendidikan yang kita laksanakan tidak atau kurang cocok
dengan budaya Indonesia. Untuk itu, perlu dicari sosok bentuk praktek
pendidikan yang berwajah Indonesia.
Pakar pendidikan H.G. Wells, dalam bukunya The Catastrope of Education, (2005).
mengatakan "rusaknya moral dan tumpulnya etika sosial masyarakat tidak
dapat tidak karena semakin suburnya praktek anomali di sekolah, sebagai
salah satu sebab kemungkinan". Tesis H.G. Wells didorong oleh makin
pudarnya etika sosial di masyarakat, makin melembaganya praktek
kekerasan dalam dunia pendidikan. H.G. Wells, menuduh sebagai
biangkeroknya adalah lembaga pendidikan sekolah. Menurutnya lembaga
pendidikan sekolah tidak membawa manfaat terhadap perbaikan moral dan
etika sosial siswa yang seharusnya lembaga pendidikan sekolah sebagai
lembaga persemaian nilai-nilai kebaikan dan menolak segala bentuk
anomali.
Kalau saja tuduhan H.G.
Wells itu benar, maka kita tidak perlu sakit hati atau mengatakan
sia-sialah guru-guru kita mengajarkan anak-anak kita di sekolah, karena
toh pada akhirnya pendidikan menghasilkan manusia bermentalitas tidak
jujur.
Senada dengan Wells, Prof. Kurt
Singer, dalam Sindhunata (2001) membeberkan panjang lebar gejala
anomali pada pendidikan kita. Menurut Singer sekolah bukan lagi tempat
yang nyaman bagi anak-anak. Sistem pendidikan sekolah mau tak mau
menjadikan guru sebagai agen yang mengawasi, menindas dan merendahkan
martabat para siswa. Sekolah menjadi lingkungan penuh sensor yang
mematikan bakat dan gairah anak untuk belajar. Pekerjaan dan kewajiban
sekolah menjadi diktator yang memusnahkan kemampuan anak untuk belajar
menjadi dirinya. Sekolah/kampus bukan lagi tempat untuk belajar
melainkan tempat untuk mengadili dan merasa diadili. Kurt Singer
menyebut pendidikan sekolah kita yang mengakibatkan kegelisahan dan
ketakutan itu, sebagai Schwarzer Paedagogic (pedagogi hitam), (Sindhunata, 2001).
Yang semestinya sekolah adalah
tempat dimana anak-anak menemukan kejujuran, kesederhanaan dan sikap
egaliter. Di sana anak-anak belajar tentang kejujuran, belajar tentang
etika dan moral, belajar menjadi dirinya, belajar saling mengasihi,
belajar saling membagi. Di sana anak-anak memperoleh perlindungan dari
penipuan, kebohongan, kedustaan, di sana mereka belajar tentang
demokrasi, kejujuran, kebebasan berbependapat, cinta kasih. Pokoknya
sekolah adalah tempat memanusiakan manusia yang berkarakter mulia dan
berbudi luhur.
Kritikan ini sebenaranya bukan
hal baru. Para pengkritik pendidikan melihat proses pendidikan tidak
ubahnya sebagai penjara sosial. Dimana proses yang terjadi di kelas
adalah pemasungan kreativitas anak didik dan karenanya pendidikan tidak
pernah melahirkan manusia yang kritis dan cerdas.
Apa yang telah dikemukan di
atas sebenarnya sebagai dampak dari sistem dan model pendidikan lebih
bersifat kodian atau belum tuntas, artinya masih kurang memberi
perhatian kepada pengembangan individualitas yang jujur dan kerja keras.
Hampir seluruh kegiatan di sekolah belum banyak usaha nyata untuk
menumbuhkan minat siswa untuk cinta kepada kerja dan kerja keras, cinta
kepada kejujuran, cinta kesederhanaan. Mentalitas jalan pintas menjadi
sebuah pilihan, rupanya sejalan dengan budaya bangsa kita.
Di kalangan siswa budaya ini
cukup tumbuh subur, seperti budaya nyontek, budaya plagiat. Oleh karena
itu sekolah hendaknya melakukan reorientasi pendidikan menuju kepada
pengembangan individualitas dan menempatkan niliai humanitas pada
spektrum yang paling utama.
2. Peranan Pendidikan Dalam Masyarakat
Sebagian
besar masyarakat modern memandang lembaga-lembaga pendidikan sebagai
peranan kunci dalam mencapai tujuan sosial. Pemerintah bersama orang tua
telah menyediakan anggaran pendidikan yang diperlukan secara
besar-besaran untuk kemajuan sosial dan pembangunan bangsa, untuk
mempertahankan nilai-nilai tradisional yang berupa nilai-nilai luhur
yang harus dilestarikan seperti nilai kesederhanaan, kejujuran dan
kewajiban untuk mematuhi norma-norma yang berlaku, jiwa semangat
berkorban, berpartisipasi dalam kegiatan sosial, rela berbagai dan
sebagainya. Pendek kata pendidikan dapat diharapkan untuk mengembangkan
wawasan anak terhadap nilai, sosial dan budaya secara tepat dan benar,
sehingga membawa kemajuan pada individu masyarakat dan negara untuk
mencapai tujuan pembangunan nasional.
Berbicara
tentang fungsi dan peranan pendidikan dalam masyarakat ada
bermacam-macam pendapat, di bawah ini disajikan tiga pendapat tentang
fungsi pendidikan dalam masyarakat.
Wuradji
(1988) menyatakan bahwa pendidikan sebagai lembaga konservatif
mempunyai fungsi-fungsi sebagai berikut: (1) fungsi sosialisasi, (2)
fungsi kontrol sosial, (3) fungsi pelestarian budaya Masyarakat, (4)
fungsi latihan dan pengembangan tenaga kerja, (5) fungsi seleksi dan
alokasi, (6) fungsi pendidikan dan perubahan sosial, (7) fungsi
reproduksi budaya, (8) fungsi difusi kultural, (9) fungsi peningkatan
sosial, dan (10) fungsi modifikasi sosial.
Jeane H. Ballantine (1983)
menyatakan bahwa fungsi pendidikan dalam masyarakat itu sebagai berikut:
(1) fungsi sosialisasi, (2) fungsi seleksi, latihan dan alokasi, (3)
fungsi inovasi dan perubahan sosial, (4) fungsi pengembangan pribadi dan
sosial.
Meta Spencer dan Aleks
Inkeles (1982) menyatakan bahwa fungsi pendidikan dalam masyarakat itu
sebagai berikut: (1) memindahkan nilai-nilai budaya, (2) nilai-nilai
pengajaran, (3) peningkatan mobilitas sosial, (4) fungsi stratifikasi,
(5) latihan jabatan, (6) mengembangkan dan memantapkan hubungan hubungan
sosial (7) membentuk semangat kebangsaan, (8) pengasuh bayi.
Dari
tiga pendapat tersebut di atas, tidak ada perbedaan tetapi saling
melengkapi antara pendapat yang satu dengan pendapat yang lain.
1) Fungsi Sosialisasi.
Di
dalam masyarakat pra industri, generasi baru belajar mengikuti pola
perilaku generasi sebelumnya tidak melalui lembaga-lembaga sekolah
seperti sekarang ini. Pada masyarakat pra industri tersebut anak belajar
dengan jalan mengikuti atau melibatkan diri dalam aktivitas orang-orang
yang telah lebih dewasa. Anak-anak mengamati apa yang mereka lakukan,
kemudian menirunya dan anak-anak belajar dengan berbuat atau melakukan
sesuatu sebagaimana dilakukan oleh orang-orang yang telah dewasa. Untuk
keperluan tersebut anak-anak belajar bahasa atau simbol-simbol yang
berlaku pada generasi tua, menyesuaikan diri dengan nilai-nilai yang
berlaku, mengikuti pandangannya dan memperoleh keterampilan-keterampilan
tertentu yang semuanya diperoleh lewat budaya masyarakatnya. Di dalam
situasi seperti itu semua orang dewasa adalah guru, tempat di mana
anak-anak meniru, mengikuti dan berbuat seperti apa yang dilakukan oleh
orang-orang yang lebih dewasa. Mulai dari permulaan, anak-anak telah
dibiasakan berbuat sebagaimana dilakukan oleh generasi yang lebih tua.
Hal itu merupakan bagian dari perjuangan hidupnya. Segala sesuatu yang
dipelajari adalah berguna dan berefek langsung bagi kehidupannya
sehari-hari. Hal ini semua bisa terjadi oleh karena budaya yang berlaku
di dalam masyarakat, di mana anak menjadi anggotanya, adalah bersifat
stabil, tidak berubah dan waktu ke waktu, dan statis.
Dengan semakin majunya
masyarakat, pola budaya menjadi lebih kompleks dan memiliki diferensiasi
antara kelompok masyarakat yang satu dengan yang lain, antara yang
dianut oleh individu yang satu dengan individu yang lain. Dengan
perkataan lain masyarakat tersebut telah mengalami perubahan-perubahan
sosial. Ketentuan-ketentuan untuk berubah ini, mengakibatkan terjadinya
setiap transmisi budaya dan satu generasi ke generasi berikutnya selalu
menjumpai permasalahan-permasalahan. Di dalam suatu masyarakat sekolah
telah melembaga demikian kuat, maka sekolah menjadi sangat diperlukan
bagi upaya menciptakan/melahirkan nilai-nilai budaya baru (cultural reproduction).
Dengan berdasarkan pada proses
reproduksi budaya tersebut, upaya mendidik anak-anak untuk mencintai dan
menghormati tatanan lembaga sosial dan tradisi yang sudah mapan adalah
menjadi tugas dari sekolah. Termasuk di dalam lembaga-lembaga sosial
tersebut diantaranya adalah keluarga, lembaga keagamaan, lembaga
pemerintahan dan lembaga-lembaga ekonomi. Di dalam permulaan masa-masa
pendidikannya, merupakan masa yang sangat penting bagi pembentukan dan
pengembangan pengadopsian nilai-nilai ini. Masa-rnasa pembentukan dan
pembangunan upaya pengadopsian ini dilakukan sebelum anak-anak mampu
memiliki kemampuan kritik dan evaluasi secara rasional.
Sekolah sebagai lembaga yang
berfungsi untuk mempertahankan dan mengembangkan tatanan-tatanan sosial
serta kontrol sosial mempergunakan program-program asimilasi dan
nilai-nilai subgrup beraneka ragam, ke dalam nilai-nilai yang dominan
yang memiliki dan menjadi pola anutan bagi sebagiai masyarakat.
2) Fungsi pelestarian budaya masyarakat.
Sekolah
juga harus melestanikan nilai-nilai budaya yang masih layak
dipertahankan seperti bahasa daerah, kesenian daerah, budi pekerti dan
suatu upaya mendayagunakan sumber daya lokal bagi kepentingan sekolah
dan sebagainya.
Fungsi sekolah berkaitan dengan
konservasi nilai-nilai budaya daerah ini ada dua fungsi sekolah yaitu
pertama sekolah digunakan sebagai salah satu lembaga masyarakat untuk
mempertahankan nilai-nilai tradisional masyarakat dari suatu masyarakat
pada suatu daerah tertentu, digunakan untuk mempertahankan nilai-nilai
budaya dan kedua sekolah mempunyai tugas untuk mempertahankan
nilai-nilai budaya bangsa dengan mempersatukan nilai-nilai yang ada yang
beragam demi kepentingan nasional.
3) Fungsi pendidikan dan perubahan sosial.
Pendidikan
mempunyai fungsi untuk mengadakan perubahan sosial mempunyai fungsi (1)
melakukan reproduksi budaya, (2) difusi budaya, (3) mengembangkan
analisis kultural terhadap kelembagaan-kelembagaan tradisional, (4)
melakukan perubahan-perubahan atau modifikasi tingkat ekonomi sosial
tradisional, dan (5) melakukan perubahan-perubahan yang lebih mendasar
terhadap institusi-institusi tradisional yang telah ketinggalan.
Sekolah berfungsi sebagai
reproduksi budaya menempatkan sekolah sebagai pusat penelitian dan
pengembangan. Fungsi semacam ini merupakan fungsi pada perguruan tinggi.
Pada sekolah-sekolah yang lebih rendah, fungsi ini tidak setinggi pada
tingkat pendidikan tinggi.
Pada masa-masa proses
industrialisasi dan modernisasi pendidikan telah mengajarkan nilai-nilai
serta kebiasaan-kebiasaan baru, seperti orientasi ekonomi, orientasi
kemandirian, mekanisme kompetisi sehat, sikap kerja keras, kesadaran
akan kehidupan keluarga kecil, di mana nilai-nilai tersebut semuanya
sangat diperlukan bagi pembangunan ekonomi sosial suatu bangsa.
Usaha-usaha sekolah untuk mengajarkan sistem nilai dan perspektif ilmiah
dan rasional sebagai lawan dan nilai-nilai dan pandangan hidup lama,
pasrah dan menyerah pada nasib, ketiadaan keberanian menanggung resiko,
semua itu telah diajarkan oleh sekolah sekolah sejak proses modernisasi
dari perubahan sosial Dengan menggunakan cara-cara berpikir ilmiah,
cara-cara analisis dan pertimbangan-pertimbangan rasional serta
kemampuan evaluasi yang kritis orang akan cenderung berpikir objektif
dan lebih berhasil dalam menguasai alam sekitarnya.
Lembaga-lembaga pendidikan disamping berfungsi sebagai penghasil nilai-nilai budaya baru juga berfungsi sebagai difusi budaya (cultural diffission).
Kebijaksanaan-kebijaksanaan sosial yang kemudian diambil tentu
berdasarkan pada hasil budaya dan difusi budaya. Sekolah-sekolah
tersebut bukan hanya menyebarkan penemuan-penemuan dan
informasi-informasi baru tetapi juga menanamkan sikap-sikap, nilai-nilai
dan pandangan hidup baru yang semuanya itu dapat memberikan
kemudahan-kemudahan serta memberikan dorongan bagi terjadinya perubahan
sosial yang berkelanjutan.
Fungsi pendidikan dalam
perubahan sosial dalam rangka meningkatkan kemampuan analisis kritis
berperan untuk menanamkan keyakinan-keyakinan dan nilai-nilai baru
tentang cara berpikir manusia. Pendidikan dalam era abad modern telah
berhasil menciptakan generasi baru dengan daya kreasi dan kemampuan
berpikir kritis, sikap tidak mudah menyerah pada situasi yang ada dan
diganti dengan sikap yang tanggap terhadap perubahan. Cara-cara berpikir
dan sikap-sikap tersebut akan melepaskan diri dari ketergantungan dan
kebiasaan berlindung pada orang lain, terutama pada mereka yang
berkuasa. Pendidikan ini terutama diarahkan untuk memperoleh kemerdekaan
politik, sosial dan ekonomi, seperti yang dianjurkan oleh Paulo Friere.
Dalam banyak negara terutama negara-negara yang sudah maju, pendidikan
orang dewasa telah dikembangkan sedemikian rupa sehingga masalah
kemampuan kritis ini telah berlangsung dengan sangat intensif.
Pendidikan semacam itu telah berhasil membuka mata masyarakat terutama
di daerah pedesaan dalam penerapan teknologi maju dan penyebaran
penemuan baru lainnya.
Pengaruh dan upaya pengembangan
berpikir kritis dapat memberikan modifikasi (perubahan) hierarki sosial
ekonomi. Oleh karena itu pengembangan berpikir kritis bukan saja efektif
dalam pengembangan pnibadi seperti sikap berpikir kritis, juga
berpengaruh terhadap penghargaan masyarakat akan nilai-nilai manusiawi,
perjuangan ke arah persamaan hak-hak baik politik, sosial maupun
ekonomi. Bila dalam masyarakat tradisional lembaga-lembaga ekonomi dan
sosial didominasi oleh kaum bangsawan dan golongan elite yang berkuasa,
maka dengan semakin pesatnya proses modernisasi tatanan-tatanan sosial
ekonomi dan politik tersebut diatur dengan pertimbangan dan
penalaran-penalaran yang rasional. Oleh karena itu timbullah
lembaga-lembaga ekonomi, sosial dan politik yang berasaskan keadilan,
pemerataan dan persamaan. Adanya strata sosial dapat terjadi sepanjang
diperoleh melalui cara-cara objektif dan keterbukaan, misalnya dalam
bentuk mobilitas vertikal yang kompetitif.
4) Fungsi Sekolah dalam Masyarakat
Sekolah
bukan satu-satunya lembaga yang menyelenggarakan pendidikan tetapi
masih ada lembaga-lembaga lain yang juga menyelenggarakan pendidikan.
Sekolah sebagai penyelenggara pendidikan antara lain berfungsi sebagai
partner masyarakat. Sekolah sebagai partner masyarakat akan dipengaruhi
oleh corak pengalaman seseorang di dalam lingkungan masyarakat.
Pengalarnan pada berbagai kelompok masyarakat, jenis bacaan, tontonan
serta aktivitas-aktivitas lainnya dalam masyarakat dapat mempengaruhi
fungsi pendidikan yang dimainkan oleh sekolah. Sekolah juga
berkepentingan terhadap perubahan lingkungan seseorang di dalam
masyarakat. Perubahan lingkungan itu antara lain dapat dilakukan melalui
fungsi layanan bimbingan, penyediaan forum komunikasi antara sekolah
dengan lembaga sosial lain dalam masyarakat. Sebaliknya partisipasi
sadar seseorang untuk selalu belajar dari lingkungan masyarakat, sedikit
banyak juga dipengaruhi oleh tugas-tugas belajar serta pengarahan
belajar yang dilaksanakan di sekolah.
Fungsi sekolah sebagai partner
masyarakat akan dipengaruhi pula oleh sedikit banyaknya serta fungsional
tidaknya pendayagunaan sumber-sumber belajar di masyarakat. Kekayaan
sumber belajar dalam masyarakat seperti adanya lembaga gereja, masjid,
perpustakaan, museum, surat kabar, majalah dan sebagainya dapat
digunakan oleh sekolah dalam menunaikan fungsi pendidikan.
Sebagai produser kebutuhan
pendidikan masyarakat sekolah dan masyarakat memiliki ikatan hubungan
rasional di antara keduanya. Pertama, adanya kesesuaian antara fungsi
pendidikan yang dimainkan oleh sekolah dengan apa yang dibutuhkan
masyarakat. Kedua, ketepatan sasaran atau target pendidikan yang
ditangani oleh lembaga persekolahan akan ditentukan pula o!eh kejelasan
perumusan kontrak antara sekolah selaku pelayan dengan masyarakat selaku
pemesan Ketiga, keberhasilan penunaian fungsi sekolah sebagai layanan
pesanan masyarakat sebagian akan dipengaruhi oleh ikatan objektif di
antara keduanya.
Ikatan objektif
ini dapat berupa perhatian, penghargaan dan tunjangan tertentu seperti
dana, fasilitas dan jaminan objektif lainnya yang memberikan makna
penting eksistensi dan produk sekolahan.
3. Disorientasi Pendidikan
Pendidikan
kita telah lama mengalami disorientasi, dan lebih mengedepankan
pemenuhan keinginan politik ketimbang proses pencerdasan insan manusia.
Aktivitas pendidikan hanya berkutat pada persoalan klasik yang
memusatkan aspek rasional manusia. Transfer ilmu pengetahuan rasional
ini begitu ditekankan dalam pendidikan sehingga dimensi lain pendidikan
seperti aspek psikis, spiritual, aspek kejujuran, aspek kesederhanaan,
aspek sosial dilupakan. Akibatnya pendidikan kita menjadi berat sebelah,
yang pada gilirannya melahirkan manusia-manusia yang tinggi kadar
intelektualnya namun tanpa emosi dan jiwa social yang haus akan
nilai-nilai human. Itulah konsep pendidikan yang salah selama beberapa
tahun kita alami, yang pada akhirnya pendidikan itu tidak akan
bermanfaat, karena proses yang berjalan adalah pragmatisme nilai.
Simpton pendidikan ini nampak pula dalam proses pendidikan yang secara
singkat dapat dikatakan bahwa pendidikan kita hanya mendidik manusia
untuk "tahu banyak hal dan pandai mengetrapkan sejumlah keterampilan
teknis" ( Henderyk Beribe, 1984).
Ideologi pertumbuhan membuat
manusia bukan lagi sebagai subyek human yang otonom melainkan budak yang
tertindas karena keseimbangan psikologis tergoncang ketika norma-norma
etos sosial, keadilan sosial, kemanusiaan manusia, solidaritas sosial,
"dijungkirbalikan". Maka tidak mengherankan kalau rasa keadilan
sosial, solidaritas sosial pada anak didik kita meluntur habis, karena
etika sosial diganti dengan etika materialisme yang menjadi tolok ukur
dari kriterium nilai.
Manusia tidak lagi menjadi
makhluk sosial (societas dialogis) yang hidup bersama orang lain
melainkan mahluk tunggal yang hidup sendiri dalam penjara-penjara
kebudayaan yang diciptakannya sendiri, yang hanya bisa bertahan karena
pupuk materialisme sebagai konsekwensi dari ideologi pertumbuhan tanpa
batas.
Materialisme lebih jauh memaksa
manusia untuk memandang dirinya sebagai "dewa dan Allah". Begitu
sekularisme dan ateisme praktis muncul sebagai agama baru tanpa
promulgasi resmi, (Hendryk Beribe, 1984). Materialisme semestinya
dimengerti dalam konteks sosial budaya masyarakat yang berada pada tahap
transisi, perubahan, perkembangan yang terus melaju untuk mendapatkan
identitas sosial dan personalnya.
Bahwa saintisme, pendewasan
teknologi sebagai nilai mutlak, materialisme merajalela, kemerosotan
mental dan moral, ketidakadilan sosial yang meluas, kekerasan
merajalela, yang sering terjadi di sekolah, menjadi pilihan dan merasuk
serta membantin pada sebagian masyarakat sekolah, tidak dapat tidak
karena proses pendidikan yang keliru sebagai salah satu sebab
kemungkinan.
Walau demikian, sisi positifnya
tetap ada, yakni lembaga pendidikan merupakan lembaga social yang paling
arkais manakala masyarakat begitu dinamis dan rentan terhadap
perubahan, fungsi pendidikan tetap sebagai "watchdog" terhadap
perubahan yang keliru. Sebab dengan memperoleh pendidikan yang
secukupnya masyarakat kita akan tetap beradab dan menjadi merdeka
pikiran dan batinnya.
Menurut JB. Mangunwijaya (1992),
lembaga pendidikan merupakan institusi sosial yang sangat menentukan
kemajuan dan peradaban bangsa. Sulit dibayangkan, bangsa primitif,
menjadi beradab dan bisa bersaing dengan bangsa lain jika tidak tanpa
melalui pendidikan yang bermutu. Oleh karena itu pengelolaan pendidikan
ke depan adalah perlunya reorientasi pendidikan, yakni menempatkan
peserta didik menjadi subyek dari agen perubahan untuk membebaskan
dirinya dari isolasi peradaban dan intelektual. Jangkauan jangka
panjang yang kita harapkan adalah dari penyadaran menjadi pembebasan,
dan dari pembebasan menuju humanisasi, baik personal maupun social.,
sehingga ia bisa melihat teman atau orang lain sebagai bagian dari
ciptaan tuhan, bukan dianggap sebagai makhluk kafir.
Menurut Dorothy Blaug (2002),
begitu banyak informasi akan menimbun manusia sehingga manusia harus
dapat memilih dan memanfaatkan untuk pengembangan pribadinya. Untuk itu
konsep pendidikan menurut Blaug adalah kemudahan untuk memperoleh
informasi tentang hidup dan kehidupan. Kemajuan teknologi akan sangat
membantu, meski kita tidak dapat mengatakan bahwa komputerisasi akan
memecahkan seluruh problem pendidikan. Belajar dengan bantuan komputer
akan membuka horizon yang sangat luas bukan saja dalam proses belajar,
juga tentang konsep sekolah. Sekolah masa depan akan berubah
sehingga akan lebih berupa " personalized learning center". Komputer
akan banyak mengambil alih proses belajar hal-hal yang wajib, tugas sekolah atau guru akan beralih kepada memperkenalkan dan membangkitkan persepsi mengenai nilai-nilai.
4. Praktek pendidikan Kita saat ini
Bangsa
Indonesia telah mengalami berbagai bentuk praktek pendidikan: praktek
pendidikan Hindu, pendidikan Budhis, pendidikan Islam, pendidikan zaman
VOC, pendidikan kolonial Belanda, pendidikan zaman pendudukan Jepang,
dan pendidikan zaman setelah kemerdekaan (Somarsono, 1985). Berbagai
praktek pendidikan memiliki dasar filosofis dan tujuan yang
berbeda-beda. Beberapa praktek pendidikan yang relevan dengan pembahasan
ini adalah praktek-praktek pendidikan modern zaman kolonial Belanda,
praktek pendidikan zaman kemerdekaan sampai pada tahun 1965, dan praktek
pendidikan dalam masa pembangunan sampai sekarang ini.
Praktek pendidikan zaman
kolonial Belanda ditujukan untuk mengembangkan kemampuan penduduk
pribumi secepat-cepatnya melalui pendidikan Barat. Diharapkan praktek
pendidikan Barat ini akan bisa mempersiapkan kaum pribumi menjadi kelas
menengah baru yang mampu menjabat sebagai "pangreh praja".
Praktek pendidikan kolonial ini tetap menunjukkan diskriminasi antara
anak pejabat dan anak kebanyakan. Kesempatan luas tetap saja diperoleh
anak-anak dari lapisan atas. Dengan demikian, sesungguhnya tujuan
pendidikan adalah demi kepentingan penjajah untuk dapat melangsungkan
penjajahannya. Yakni, menciptakan tenaga kerja yang bisa menjalankan
tugas-tugas penjajah dalam mengeksploitasi sumber dan kekayaan alam
Indonesia. Di samping itu, dengan pendidikan model Barat akan diharapkan
muncul kaum bumi putera yang berbudaya barat, sehingga tersisih dari
kehidupan masyarakat kebanyakan. Pendidikan zaman Belanda membedakan
antara pendidikan untuk orang pribumi. Demikian pula bahasa yang
digunakan berbeda. Namun perlu dicatat, betapapun juga pendidikan Barat
(Belanda) memiliki peran yang penting dalam melahirkan pejuang-pejuang
yang akhirnya berhasil melahirkan kemerdekaan Indonesia.
Pada zaman Jepang meski hanya
dalam tempo yang singkat, tetapi bagi dunia pendidikan Indonesia
memiliki arti yang amat signifikan. Sebab, lewat pendidikan Jepang-lah
sistem pendidikan disatukan. Tidak ada lagi pendidikan bagi orang asing
degan pengantar bahasa Belanda.
Satu
sistem pendidikan nasional tersebut diteruskan setelah bangsa Indonesia
berhasil merebut kemerdekaan dari penjajah Belanda. Pemerintah
Indonesia berupaya melaksanakan pendidikan nasional yang berlandaskan
pada budaya bangsa sendiri. Tujuan pendidikan nasional adalah untuk
menciptakan warga negara yang sosial, demokratis, cakap dan bertanggung
jawab dan siap sedia menyumbangkan tenaga dan pikiran untuk negara.
Praktek pendidikan selepas penjajahan menekankan pengembangan jiwa
patriotisme. Dari pendekatan "Macrocosmics", bisa dianalisis
bahwa praktek pendidikan tidak bisa dilepaskan dari lingkungan, baik
lingkungan sosial, politik, ekonomi maupun lingkungan lainnya. Pada masa
ini, lingkungan politik terasa mendominir praktek pendidikan. Upaya
membangkitkan patriotisme dan nasionalisme terasa berlebihan, sehingga
menurunkan kualitas pendidikan itu sendiri. Hal ini sangat terasa
terutama pada periode Orde Lama (tahun 1959-1965).
Praktek pendidikan zaman
Indonesia merdeka sampai tahun 1965 bisa dikatakan banyak dipengaruhi
oleh sistem pendidikan Belanda. Sebaliknya, pendidikan setelah tahun
1966 sampai saat ini pengaruh sistem pendidikan Amerika semakin lama
terasa semakin menonjol. Sistem pendidikan Amerika menekankan bahwa
praktek pendidikan merupakan instrumen dalam proses pembangunan. Oleh
karenanya, tidak rnengherankan kalau seiring dengan semangat dan
pelaksanaan pembangunan yang dititik-beratkan pada pembangunan ekonomi,
praktek pendidikan dijadikan alat untuk dapat mendukung pembangunan
ekonomi dengan mempersiapkan tenaga kerja yang diperlukan dalam
pembangunan. Dengan kata lain praktek pendidikan yang bersumber pada
kebijaksanaan pendidikan banyak ditentukan guna kepentingan pembangunan
ekonomi.
Perkembangan pendidikan
nasional yang berkiblat pada pendidikan Amerika berkembang pesat dan
menunjukkan hasil yang luar biasa. Namun perlu dicatat bahwa kecepatan
perkembangan pendidikan nasional ini cenderung mendorong pendidikan ke
arah sistem pendidikan yang bersifat sentralistis.
Di samping mempertanyakan
kualitas output pendidikan yang berkiblat ke Arnerika ini, mulai
dirasakan bahwa praktek pendidikan cenderung mendorong munculnya
generasi terdidik yang bersifat materialistik, individualistik dan
konsumtif. Hal ini sesungguhnya merupakan konsekuensi logis dari
pengetrapan praktek pendidikan Amerika. Apalagi, pusat-pusat pendidikan
yang lain, misalnya media komunikasi massa mendukung proses
"Amerikanisasi" ini.
Adapula satu bentuk produk
proses pendidikan yang sesungguhnya menyimpang dari apa yang terjadi di
Barat yakni munculnya mentalitas "jalan pintas", dengan semangat dan
kemauan untuk bisa mendapatkan hasil secepat mungkin, baik di kalangan
generasi muda maupun generasi tuanya. Mereka cenderung tidak
menghiraukan bahwa segala sesuatu harus melewati proses yang memerlukan
waktu. Bahkan tidak jarang waktu yang diperlukan melewati rentang waktu
kehidupannya, tetapi demi masa depan generasi yang akan datang generasi
sekarang harus merelakannya. Sebagai contoh, di Barat tidak jarang
pembuatan "minuman anggur", agar memiliki rasa luar biasa memerlukan
waktu puluhan bahkan ratusan tahun. Tidak jarang pada label sebotol
anggur dituliskan: "dibuka 100 atau 200 tahun lagi". Mentalitas "jalan
pintas" merupakan hasil negatif dari penekanan yang berlebihan
pendidikan sebagai instrumen pembangunan ekonomi. Aspek negatif lain
yang erat kaitannya dengan mentalitas jalan pintas adalah dominannya
nilai ekstrik (Extrinsic Value) di kalangan masyarakat kita, khususnya generasi muda.
Tekanan kemiskinan menimbulkan
obsesi bahwa kekayaan merupakan obat yang harus segera diperoleh dengan
segala cara dan dengan biaya apapun juga. Oleh karena tujuan segala
kegiatan adalah "kekayaan", dan yang lainnya merupakan instrumental
variabel untuk mencapai kekayaan tersebut. Oleh karena itu pendidikan,
politik bahkan agama dijadikan sarana dan alat untuk mendapatkan
kekayaan. Pendidikan, secara khusus, akan diberlakukan sebagai lembaga
yang mencetak "tenaga kerja", bukan lembaga yang menghasilkan "manusia
yang utuh" (the whole person). Konsep tersebut akan
menimbulkan tekanan yang berlebihan pada hasil tanpa menikmati
prosesnya. Sekolah dijalani oleh seseorang agar mendapatkan ijazah untuk
bekerja. Proses sekolahnya sendiri tidak pernah dinikmati, karena tidak
penting.
5. Nilai Kejujuran, komunikasi dan kesederhanaan (honesty, comunication, and simplicity)
Membaca
model pendidikan karakter yang pernah dikembangkan di Kolese Gonzaga
(1007-2008) dan baik untuk kita terapkan di sekolah yaitu Kejujuran,
Komunikasi, dan Kesederhanaan. dan ijinkan saya untuk mengutipnya
kembali pada bagian berikut ini.
1. Kejujuran (honesty)
Kejujuran merupakan kualitas manusiawi melalui mana manusia mengomunikasikan diri dan bertindak secara benar (truthfully).
Karena itu, kejujuran sesungguhnya berkaitan erat dengan nilai
kebenaran, termasuk di dalamnya kemampuan mendengarkan, sebagaimana
kemampuan berbicara, serta setiap perilaku yang bisa muncul dari
tindakan manusia. Secara sederhana, kejujuran bisa diartikan sebagai
sebuah kemampuan untuk mengekpresikan fakta-fakta dan keyakinan pribadi
sebaik mungkin sebagaimana adanya. Sikap ini terwujud dalam perilaku,
baik jujur terhadap orang lain maupun terhadap diri sendiri (tidak
menipu diri), serta sikap jujur terhadap motivasi pribadi maupun
kenyataan batin dalam diri seorang individu.
Kualitas
kejujuran seseorang meliputi seluruh perilakunya, yaitu, perilaku yang
termanifestasi keluar, maupun sikap batin yang ada di dalam. Keaslian
kepribadian seseorang bisa dilihat dari kualitas kejujurannya.
Konsep
tentang kejujuran bisa membingungkan dan mudah dimanipulasi karena
sifatnya yang lebih interior. Perilaku jujur mengukur kualitas moral
seseorang di mana segala pola perilaku dan motivasi tergantung pada
pengaturan diri (self-regulation) seorang individu.
Meskipun
tergantung pada proses penentuan diri, kita tidak bisa mengklaim bahwa
pendapat diri kita sematalah yang benar. Seandainya toh kita telah
meyakini bahwa pendapat kita merupakan pendapat yang menurut kita paling
baik, perlulah tetap mendengarkan pendapat orang lain. Setiap keyakinan
pribadi menyisakan bias subjektivitas yang bisa saja mengaburkan diri
kita dalam memahami realitas sebagaimana adanya. Sikap jujur dengan
demikian bisa dikatakan sebagai sebuah usaha untuk senantiasa bersikap
selaras dengan nilai-nilai kebenaran (to be thrutful), sebuah usaha hidup secara bermoral dalam kebersamaan dengan orang lain.
Kualitas keterbukaan kita terhadap yang lain akan menentukan kadar
kejujuran atau ketidakjujuran kita. Namun seringkali keterbukaan ini
tergantung pada pemahaman diri kita terhadap realitas, termasuk
pemahaman nilai-nilai moral yang kita yakini. Keyakinan moral seseorang
bisa saja keliru. Namun persepsi diri kita tentang nilai-nilai moral
tidaklah statis. Ia dinamis seiring dengan banyaknya informasi dan
pengetahuan yang kita terima. Ketika kita menolak menerima adanya
perspektif atau sudut pandang lain yang berbeda dengan diri kita,
biasanya ini merupakan pertanda bahwa kita kurang memiliki interest
terhadap kebenaran. Sikap demikian ini bisa dikatakan sebagai sikap abai
terhadap nilai kejujuran (dishonest).
Mengupayakan
nilai kejujuran tidak sama dengan memperjuangkan ideologi yang sifatnya
lentur dan bisa berubah setiap saat. Inilah mengapa, meskipun kita tahu
bahwa kejujuran itu sangat penting bagi kehidupan, nilai kejujuran
sulit (untuk mengatakan tidak dapat) menjadi norma sebuah kultur
masyarakat. Ideologi senantiasa mencari pendukung yang memperkuat
gagasannya dan mendukung sudut pandangnya sendiri sementara menolak dan
mengabaikan pandangan orang lain. Pendekatan ideologis menganggap bahwa
cara-cara mereka merupakan satu-satunya cara yang benar. Pendekatan
demikian mengikis praksis perilaku jujur dan meningkatkan konflik bagi
setiap relasi antar manusia.
Kejujuran
memiliki kaitan yang erat dengan kebenaran dan moralitas. Bersikap
jujur merupakan salah satu tanda kualitas moral seseorang. Dengan
menjadi seorang pribadi yang berkualitas, kita mampu membangun sebuah
masyarakat ideal yang lebih otentik dan khas manusiawi.Sokrates,
misalnya, mengatakan, jika seseorang sungguh-sungguh mengerti bahwa
perilaku mereka itu keliru, mereka tidak akan memilihnya. Seseorang itu
akan semakin jauh dari kebenaran dan karena itu dishonest jika ia
tidak menyadari bahwa perilakunya itu sesungguhnya keliru. Kesadaran
diri bahwa setiap manusia bisa salah dan mengakuinya merupakan langkah
awal bertumbuhnya nilai kejujuran dalam diri seseorang.
Dalam sudut pandang Kristiani, norma moral dasar yang bisa ditarik dari
kutipan Injil adalah sabda Yesus sendiri, "Kasihilah sesamamu manusia
seperti dirimu sendiri." (Matius 22:39). Dari ayat ini kita bisa
memahami bahwa, 1) perilaku individu akan menentukan kualitas
komunitas/masyarakat di mana ia hidup, 2) Individu tidak sekedar
melakukan apa yang benar dan baik, melainkan perilaku benar dan baik ini
bisa diuji secara timbal balik melalui keberadaan orang lain. Secara
sederhana perilaku jujur merupakan sebuah tindakan untuk menghindari
kebohongan, mencuri, dan menipu melalui cara apapun.
Kejujuran sejati, bukan sekedar kesediaan kita menerima diri dan orang
lain sebagaimana adanya demi kelangsungan hidup bersama. Kejujuran
sejati juga mengandaikan bahwa kita jujur tentang kemungkinan dan
potensi yang kita miliki sebagai individu. Inilah dimensi kreatif dari
makna kejujuran. Kita tidak sekedar menerima diri ktia apa adanya.
Menerima diri apa adanya adala awal dari kejujuran. Namun ini belum
cukup. Yang kita perlukan adalah pengembangan segala potensi dan
kemungkinan yang kita miliki. Inilah yang senantiasa menjadi penjaga
bagi kita dalam menghadapi setiap tantangan kedepan.
Untuk
memahami lebih praktis perilaku kejujuran, seringkali akan lebih mudah
bagi kita menunjukkan macam tindakan-tindakan ketidakjujuran dalam
kerangka pendidikan. Perilaku tidak jujur dalam konteks pendidikan
antara lain:
Plagiarisme (plagiarism). Sebuah tindakan mengadopsi atau mereproduksi ide, atau kata-kata, dan pernyataan orang lain tanpa menyebutkan nara sumbernya.
Plagiarisme karya sendiri (self plagiarism).
Menyerahkan/mengumpulkan tugas yang sama lebih dari satu kali untuk mata
pelajaran yang berbeda tanpa ijin atau tanpa memberitahu guru yang
bersangkutan.
Manipulasi (fabrication). Pemalsuan data, informasi atau kutipan-kutipan dalam tugas-tugas akademis apapun.
Pengelabuan (deceiving). Memberikan informasi yang keliru,
menipu terhadap guru berkaitan dengan tugas-tugas akademis, misalnya,
memberikan alasan palsu tentang mengapa ia tidak menyerahkan tugas tepat
pada waktunya, atau mengaku telah menyerahkan tugas padahal sama sekali
belum menyerahkannya.
Menyontek (cheating). Berbagai macam cara untuk memperoleh atau menerima bantuan dalam latihan akademis tanpa sepengetahuan guru.
Sabotase (sabotage). Tindakan untuk mencegah dan
menghalang-halangi orang lain sehingga mereka tidak dapat menyelesaikan
tugas akademis yang mesti mereka kerjakan. Tindakan ini termasuk di
dalamnya, menyobek/menggunting lembaran halaman dalam buku-buku di
perpustakaan, ensiklopedi,dll, atau secara sengaja merusak hasil karya
orang lain.
Perilaku ketidakjujuran akademis ini telah banyak terjadi di dalam
lingkup pendidikan, mulai dari lingkup sekolah dasar sampai perguruan
tinggi, dengan kadar pelanggaran yang berbeda. Pada masa kini, dalam
lingkup akademik, perilaku ketidakjujuran akademis seperti ini dipandang
sebagai perilaku negatif yang tidak terpuji. "Honesty means
there are no contradictions or discrepancies in thoughts, words, or
actions. To be honest to ones real self and to the purpose of a task
earns trust and inspires faith in others. Honesty is never to misuse
that which is given in trust."
2. Komunikasi
Setiap
proses pendidikan tidak dapat menghindari diri dari kenyataan bahwa
pendidikan tak lain adalah proses komunikasi. Tidak akan ada pendidikan
tanpa komunikasi, sebab pendidikan merupakan intervensi sosial bagi
pembentukan generasi muda agar mereka bertumbuh secara maksimal menjadi
pribadi yang mandiri, dewasa dan bertanggungjawab.
Komunikasi
senantiasa berkaitan dengan pembentukan komunitas, yaitu, sebuah
keadaan hidup bersama yang saling membantu dan menumbuhkan setiap
individu yang terlibat di dalamnya. Lembaga pendidikan sebagai sebuah
lembaga formasi merupakan komunitas par excellence. Karena itu,
komunikasi menjadi cara bertindak paling dasariah bagi setiap insan yang
terlibat dalam dunia pendidikan. Tanpanya, lembaga pendidikan
kehilangan alasan keberadaannya (raison d etre).
Sebagaimana
nilai kejujuran, komunikasi mengandaikan adanya sikap terbuka terhadap
yang lain (baik terhadap individu maupun lingkungan). Keterbukaan dalam
komunikasi membuat setiap individu yang terlibat dalam pendidikan
mengetahui visi dan misi bersama yang akan diraih oleh sebuah lembaga
pendidikan. Dengan demikian mereka mampu mengarahkan diri, pemikiran,
tenaga dan perilakunya pada visi dan misi yang menjadi panduan bertindak
sebuah lembaga pendidikan.
Komunikasi dalam pendidikan meliputi, komunikasi antar lembaga dengan
individu (misalnya, antara yayasan dengan pihak pengurus sekolah), dan
antar individu dalam sekolah (komunikasi antara guru-siswa, guru-guru,
guru-karyawan, siswa-siswa, siswa-karyawan, karyawan-karyawan).
Komunikasi dalam pendidikan juga termasuk di dalamnya komunikasi antara
pihak sekolah dengan masyarakat sebagai pemangku kepentingan, dalam hal
ini, mereka diwakili oleh orang tua.
Komunikasi
dalam lingkup akademis secara khusus tampil dalam kesediaan dialog
dalam kerangka pengembangan kemampuan akademis siswa, yaitu, dialog
antar guru dan siswa, pendampingan wali kelas terhadap siswa di kelas
perwaliannya, komunikasi walikelas dengan orang tua. Semua jenis
komunikasi ini diarahkan demi membantu siswa mencapai pengembangan
kemampuan akademis dan kepribadian yang dipersyaratkan sesuai oleh
pendidikan.
Ketiadaan komunikasi dapat dilihat dari gejala seperti ini,
ketidakpuasan terhadap kebijakan sekolah, keluhan dari para siswa
terhadap pendekatan pembelajaran tertentu yang dilakukan oleh guru,
suasana tidak nyaman dalam bekerja karena masing-masing pihak
mengutamakan ide dan gagasannnya.
Singkatnya,
pengembangan kemampuan komunikasi dalam lingkup sekolah mengandaikan
adanya keterbukaan, pemahaman bersama akan visi dan misi, kesediaan
untuk berdialog dan mencari jalan pemecahan terbaik jika terjadi
konflik. Dalam segala hal, pribadi tersebut akan mengutamakan
kepentingan umum mengatasi kepentingan pribadinya.
3. Kesederhanaan (simplicity)
Menanamkan
nilai-nilai kesederhanaan menjadi tantangan tersendiri bagi para
pendidik di tengah arus masyarakat yang memuja penggelojohan nafsu
membeli. Nilai kesederhanaan berkaitan dengan sikap ugahari, yaitu,
sebuah perilaku untuk mempergunakan sesuatu apa adanya sesuai kebutuhan,
tidak melebihi apa yang seharusnya.
Dalam kerangka pendidikan, sikap sederhana ini bisa diwujudkan dalam
penggunaan sarana dan prasarana secara maksimal demi pengembangan diri,
semangat bekerja keras dalam belajar dan menempa diri.
Sikap tidak sederhana biasanya tampil dalam, kegiatan yang sifatnya jor-joran, seperti, prom nite
di hotel-hotel, pesta-pesta yang tidak berkaitan dan tak ada maknanya
bagi proses pendidikan, penggunaan mobil ke sekolah tanpa ijin, pamer
barang mewah (mobil, hp,dll), konsumsi berlebihan, membuang-buang waktu
demi kesenangan percuma dan sia-sia, dll.
Melalui tiga penekanan khas bagi pembentukan karakter, yaitu, kejujuran,
komunikasi dan kesederhanaan, adalah sebagai wujud tanggungjawab
seakolah dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa dan menciptakan
sebuah masyarakat yang lebih manusiawi, otentik, peka dan solider pada
orang lain. Melaui tiga nilai ini, ingin merealisasikan hakekat
pendidikan, yaitu menusia yang memiliki keunggulan, kompetensi,
tanggungjawab, sikap terbuka, daya integratif dengan semangat pelayanan
dan kepedulian."
6. Catatan Penutup
Menurut
Satmoko,dalam Agus Salim (2008) bangsa Indonesia belum pernah
merumuskan filsafat pendidikannya sendiri, karena banyak distorsi.
Begitu Indonesia merdeka dan bebas dalam berpikir, kita justru belum
mampu memanfaatkan kebebasan itu. Kita terbentur pada kebhinekaan.
Secara historis, sebelum Belanda datang, sebenarnya Indonesia sudah
memiliki "system" pendidikan sendiri, yaitu pada zaman Majapahit,
Sriwijaya, dan Mataram yang bersifat feodalistis.
Budaya feodal berwatak
materialistis, hedonisme, hegemonisme sehingga menjadi panutan yang
kuat. Para pemikir seperti Ronggowarsito yang futuristik sudah
meramalkan bahwa zaman yang akan datang bakal terjadi pluralisme yang
cenderung tidak beraturan. Nilai-nilai dasar budaya Indonesia yang
plural belum sempat menjadi sistem yang dianut oleh semua pihak.
Sampai sekarang belum pernah ada
suatu teori pendidikan yang didukung riset. Riset yang ada selalu
mengacu Amerika. Di Indonesia, sifat pendidikan direduksi menjadi schooling
(sekolah formal) -kesimpulan yang dinilai terlalu tergesa-gesa.
Harusnya, secara embrional, pendidikan itu harus dilihat dalam kekuatan
keluarga. Bagaimana orang tua dan masyarakat mendidik anak-anaknya
(filsafat ing ngarsa asung tuladha).
Guru sekolah itu kedudukannya ada dalam proses persekolahan. Guru adalah fasilitator (ing madya mangun karsa),
yang aktif mendorong anak dalam arah yang benar. Tetapi guru yang
berkualifikasi tidak sempat mengenal siswanya, karena tanggung jawabnya
cukup besar sementara gajinya kecil.
Satmoko dalam Agus Salaim (2008)
melihat kejadian sebagai akar fenomenologi yang berkembang di
Indonesia. Embrio pemikiran tentang sistem pendidikan nasional berasal
dari Ki Hajar Dewantara yang menanamkan nilai dasar budaya Indonesia.
Taman Siswa bukan penonjolan budaya Jawa, tetapi perlawanan budaya lokal
kepada pemerintah kolonialisme Belanda yang mendapat pembenaran dari
berbagai suku lain.
Pada dasarnya
mendidik adalah tanggung jawab yang mesti ditangani orang tua dan
guru. Orang tua tak siap untuk mendidik, karena ia melahirkan anak tanpa
ilmu pendidikan, tapi secara instinktif. Orientasi filosofi orang tua
sederhana saja, yaitu berupaya menanamkan nilai-nilai kemandirian,
kesederrhanaan, dan komunikasi, dan sekaligus memberi bekal untuk
meneruskan hidupnya.
Kemudian orang tua menyadari
bahwa dalam hidup, manusia tidak hanya mengejar kejerahan materi, tapi
hendaknya juga menyiapkan diri di masa akhir dunia. Dengan demikian,
yang dibekalkan pada anak hanya dua hal yakni akar dan sayap menurut
Christoper Gleenson (1997)
Prof Satmoko dalam Agus Salim
(2008) menilai pengaruh Amerika besar sekali terhadap sistem pendidikan
di Indonesia. Depdiknas hanya mengambil filsafat tut wuri handayani.
Para pendidik kita yang belajar di AS tidak mampu membendung masuknya
liberalisasi dan individualisasi. Anak, dalam teori behavioralistik,
diasumsikan merupakan potensi, naturalistik harus didukung dengan
filsafat tut wuri handayani.
Padahal Ki Hajar Dewantara
mengajarkan ketiga kesatuan (Tripusat) tak terpisahkan. Karena seorang
anak juga butuh diberi contoh (tuladha), sedangkan guru sebagai
fasilitator harus mampu memberi arah pendidikan nilai yang jelas.
Sehingga guru Indonesia menjadi korban. Di satu pihak belum memiliki
filosofi Indonesia, tetapi di tataran praksis mengalirlah praktik
pendidikan dengan program pengajaran yang sangat liberal.
Pendekatan
kompetensi diterapkan dalam pendidikan dan teknologi, serta disikapi
sebagai panglima yang mengarahkan mutu pendidikan. Kita bisa menyaksikan
ukuran-ukuran mutu hasil pendidikan yang dikaitkan dengan peningkatan knowledge. Ujian Negara (UN) menjadi patokan, padahal kita tidak menerima anak sebagai unsur teknologi, tetapi sebagai pribadi manusia.
Indonesia sebetulnya memiliki
filsafat Pancasila sebagai landasan filosofi pendidikan. Pada masa lalu,
Pancasila kehilangan spiritnya karena inkonsistensi sikap dari bangsa
kita. Filsafat Pendidikan Pancasila mengajarkan banyak hal, mulai dari
unsur religi, demokrasi, human relation, sampai keadilan. Tetapi
masuknya liberalisme dan kapitalisme membuat kita menjadi sangat
behavioristik. Anak didik dipaksa untuk kreatif, inovasi dan bebas,
tetapi guru tidak bertanggung jawab pada pembentukan nilai-nilai anak.
Liberalisme dan kapitalisme hanya melahirkan kemampuan memilih peluang,
tetapi tidak menghasilkan sikap dan moral.
Menurut Satmoko, hidup merupakan patron. Guru hendaknya memberi tuladha
kepada anak didik untuk hidup sederhana dan mengembangkan nilai-nilai
hidup normatif berdasarkan ajaran agama. Kondisi ini tidaklah mudah,
apalagi pada masa Orde Baru di mana tuntutan kemajuan materi sangat
tinggi. Mendidik anak dimulai dari keluarga (millieu), lingkungan kerja. Dan dalam keseharian, guru selalu diupayakan memegang kaidah hidup dadi guru, ora guroni ananging naberi (menjadi guru jangan sekali-kali merasa lebih pinter, tetapi memberi contoh).
Sistem pendidikan harus
dikembangkan dengan memberi kepercayaan kepada anak didik sepenuhnya.
Untuk itu, guru harus memiliki idealisme dan panggilan hati (beruf)
untuk mencintai anak didiknya. Sikap ini tidak dapat diperoleh dari
bangku sekolah, tetapi perlu dilatih dalam kehidupan keseharian.
Pendidikan merupakan proses yang
berlangsung dalam suatu budaya tertentu. Banyak nilai-nilai budaya dan
orientasinya yang bisa menghambat dan bisa mendorong pendidikan. Bahkan
banyak pula nilai-nilai budaya yang dapat dimanfaatkan secara sadar
dalam proses pendidikan. Sebagai contoh di Jepang "moral Ninomiya Kinjiro"
merupakan nilai budaya yang dimanfaatkan praktek pendidikan untuk
mengembangkan etos kerja, kejujuran, kesederhanaan. Kinjiro adalah anak
desa yang miskin yang belajar dan bekerja keras sehingga bisa menjadi
samurai, suatu jabatan yang sangat terhormat. Karena saking miskinnya
(sederhananya), orang tuanya tidak mampu membeti alat penerangan. Oleh
karena itu dalam belajar ia menggunakan penerangan dari kunang-kunang
yang dimasukan dalam botol. Kerja keras diterima bukan sebagai beban,
melainkan dinikmati sebagai pengabdian. Selain semangat kerja keras,
budaya Jepang juga menekankan rasa keindahan yang tercerminkan pada
ketekunan, hemat, jujur dan bersih sebagaimana semangat Kinjiro
diwujudkan dalam patung anak yang sedang asyik membaca sambil berjalan
dengan menggendong kayu bakar di bahunya. Patung tersebut didirikan di
setiap sekolah di Jepang.
Dalam kaitan ini perlu
dipertanyakan adakah nilai-nilai dan orientasi budaya kita yang bisa
dimanfaatkan dalam praktek pendidikan? Manakah nilai dan orientasi
budaya yang perlu dikembangkan dan manakah yang harus ditinggalkan?
Itulah yang harus kita kerjakan sekarang ini. Semoga!